BANYUWANGI || Semeru.bratapos.com — Taman Blambangan selama ini menjadi jantung nadi Banyuwangi, bukan sekadar ruang terbuka hijau. Ia tumbuh menjadi panggung ekonomi rakyat, ajang ekspresi budaya, dan simbol sinergi antara ruang publik dan pemberdayaan ekonomi mikro.
Di sinilah Banyuwangi Creative Market (BCM) hadir sebagai denyut ekonomi alternatif yang digelar rutin tiap Minggu pagi melalui Car Free Day (CFD). Ratusan pelaku UMKM menggantungkan harapan dan penghidupan di tengah keterbatasan akses modal dan lapangan kerja formal.
Namun kini, keberadaan BCM dikabarkan akan direlokasi, bahkan tidak menutup kemungkinan dihapus dari titik strategis CFD, dengan dalih penataan kota. Sebuah keputusan yang menimbulkan tanda tanya besar, Apakah menata kota harus menyingkirkan perut rakyat kecil? Ataukah justru kota yang ideal adalah yang memberi ruang bertumbuh bagi warganya dari bawah?
Bagi masyarakat umum, BCM mungkin terlihat sebagai pasar kreatif mingguan. Tapi bagi pelakunya, ia adalah ruang hidup. Setiap pekan, transaksi ekonomi yang terjadi bukan main-main, mulai dari pedagang makanan, pengrajin lokal, seniman, hingga pemula di dunia usaha kreatif meraup omzet ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Efek domino dari perputaran ekonomi ini menyentuh banyak lini, mulai dari pemasok bahan baku, ojek online (Ojol), juru parkir, bahkan pengisi hiburan rakyat ikut terangkat. Ini adalah bentuk ekonomi partisipatif yang lahir dari bawah, tanpa subsidi, tanpa proposal anggaran daerah.
Keberadaan BCM adalah bukti hidup dari kebijakan-kebijakan yang selama ini digaungkan Pemda sendiri, seperti program UMKM Naik Kelas, Creative Economy, City Branding. Ironis jika produk dari semangat itu, justru hendak dipinggirkan dari ruang publik yang telah lama mereka jaga dan tumbuh di dalamnya.
Relokasi atau penghapusan BCM tidak akan menjadi solusi tanpa adanya kajian kelayakan (feasibility study) yang jujur dan terbuka. Kebijakan publik harus berdasarkan pertimbangan multidisipliner, bukan semata selera estetika ruang atau kepentingan event formal.
Kajian tersebut harus mencakup:
▪︎ Potensi kerugian ekonomi UMKM secara kolektif,
▪︎ Dampak terhadap ekosistem bisnis lokal yang terhubung,
▪︎ Aspek sosial—karena mayoritas pelaku BCM adalah ibu rumah tangga dan pemuda yang tak punya privilege akses ke modal besar,
▪︎ Risiko sosial seperti pengangguran terselubung dan peningkatan angka kemiskinan perkotaan.
Jika semua ini diabaikan, jangan heran bila relokasi hanya menciptakan pasar sepi, trauma sosial, dan potensi konflik horizontal. Belajarlah dari Pasar Wisata Sobo yang megah dalam konsep, tapi gagal secara fungsi. Kini ia jadi monumen bisu dari kebijakan yang tak berpijak pada realitas ekonomi masyarakat.
"Kota memang harus ditata. Ruang publik harus tertib, indah, dan fungsional. Namun penataan yang mengabaikan aspek ekonomi kerakyatan hanya akan melahirkan kota cantik yang asing bagi rakyatnya sendiri," ujar bang Yahya, kepada Bratapos.com, Minggu (13/7/2025) pagi.
Kota bukan museum steril dari aktivitas rakyat. Kota adalah ruang hidup, ruang bernafas, dan ruang bertahan, terutama bagi mereka yang justru tak punya pilihan selain menggantungkan harapan pada ekonomi informal.
"BCM bukanlah pengganggu pembangunan. Ia justru cerminan pembangunan yang hidup, inklusif, dan berkeadilan sosial," tegasnya.
Jika penataan memang menjadi kebutuhan mutlak, maka yang dibutuhkan bukan langkah sepihak, melainkan:
▪︎ Dialog terbuka antara Pemda dan komunitas BCM,
▪︎ Transparansi dokumen kajian yang menjadi dasar kebijakan,
▪︎ Masa transisi yang manusiawi dengan solusi lokasi yang layak,
▪︎ Dan pelibatan pihak independen seperti akademisi, pakar tata kota, dan pelaku UMKM sendiri dalam menyusun peta jalan relokasi.
Penataan tanpa mendengar rakyat adalah bentuk perencanaan yang timpang. Kebijakan yang baik adalah yang berpihak, bukan hanya pada keindahan fisik kota, tetapi juga pada ketahanan ekonomi warganya.
Ketika pemerintah sibuk memperindah trotoar dan menata taman, rakyat kecil hanya minta satu hal yaitu sedikit ruang yang adil untuk bertahan hidup secara bermartabat. Mereka tidak meminta belas kasihan, mereka hanya meminta kesempatan.
"Kota yang maju bukan yang sekadar indah dipandang turis, melainkan kota yang adil bagi pengusaha kecil, pedagang kaki lima, dan warga lokal yang setiap hari berjuang di jalan-jalan," ungkapnya.
"Pembangunan fisik bersifat jangka panjang, tapi mengisi perut rakyat adalah kebutuhan harian yang tak bisa ditunda. Jangan ulangi kesalahan, membangun kota megah tapi membiarkan wirausaha rakyat mati pelan-pelan," sambungnya.
Mari akui, pembangunan yang mengabaikan hati nurani akan berujung pada ketimpangan, konflik, bahkan penolakan publik. BCM bukan sekadar pasar kreatif mingguan, ia adalah simbol bahwa ruang publik bisa menjadi ruang kemajuan bersama jika diberi tempat yang adil.
"Kota yang baik bukan hanya tentang trotoar lebar dan taman hijau. Kota yang baik adalah kota yang menata ruang dan menjaga rasa keadilan," tandasnya.
Karena pada akhirnya, pembangunan kota bukan hanya tentang beton dan aspal, tetapi tentang manusia dan martabat hidup mereka di ruang yang mereka cintai. (rag/bp-bwi)